No Title...
Suara tembakan menghardik akalku dari
lelap. Peluru-peluru dari senjata M4A1 buatan Amerika itu tak henti-hentinya berdering.
Mengalahkan irama dari gesekan sayap jangkrik. Seperti biasa, saudaraku selalu
memainkan game andalannya menyambut fajar, Counter
Strike. Ia memang sangat gemar akan sesuatu hal yang bersifat menantang,
termasuk memainkan aksi tembak-menembak dalam sebuah permainan komputer. Aku
biasa memanggilnya adik, tapi tak pernah sama sekali ia memanggilku kakak.
Dari balik jendela kaca dalam kamar,
kuterawang keluar. Langit masih tetap pada corak hitam kelabunya. Menandakan
belum waktunya untuk memulai aktivitas hari ini. Semilir angin sejuk mulai
membuat tubuh ini menggigil. Maka mulailah pengembaraan pikiran pagi itu.
Tafakur menjadi pembukanya. Lalu diselingi berbagai fantasi atas beberapa hal
yang ingin ku raih. Khayalan atas keinginan-keinginan yang belum tercapai.
Malam mulai menggulung ke barat.
Tergeser oleh sinar mentari yang mulai mendorong dari arah timur. Tampak
gelombang cahaya kekuningan mulai berkumpul pada ventilasi kamar. Menerobos
melalui celah udara. Memberhentikan setiap langkah pengembaraan yang tadi
kulakukan.
Sudah terpikir akan hal-hal yang
berhubungan dengan sekolah. PR, tugas, buku, dan seragam adalah beberapa hal
yang berotasi dalam otakku. Bergerak cepat saat pagi bukan keahlianku. Malah
masih sempatnya kunyalakan komputer jinjing milikku. Menjelajahi dunia maya dan
memutar tanggal lagu favorit. Bibirku mulai mendengunkan lirik-lirik dalam lagu
Complete milik Girls’ Generation, girl group terkemuka asal negeri ginseng, Korea
Selatan. Alunan suara emas dari sembilan bidadari cantik itu seakan tak mau
hilang dari pendengaran, sekalipun setelah membasuh tubuh dengan air. Baru kali
ini aku merasa bersemangat untuk memulai hari dengan baik. Ini mungkin karena
lagu tadi, namun tetap tak bisa menghentikan keleletanku pagi ini. Sudah
menjadi fenomena umum kalau aku memang terkesan lambat.
“Ayo makan, Nak!” perintah ibuku
setiap pagi. Namun tetap saja respon yang kuterima berjalan lambat. Perintah
itu baru bisa aku lakukan setelah berselang 10 sampai 15 menit. Bukan hanya
aku, saudara-saudaraku pun juga begitu. Mungkin ini adalah sifat turunan.
Jam dinding sudah menujukkan pukul
06.47 pagi, waktunya untuk berangkat ke sekolah bersama saudaraku. Segera
kutancapkan gas motor cub asal Jepang yang berlambangkan satu sayap
itu. Menyusuri Jalan Lasinrang yang agak ramai. Terpantul cahaya lampu sorot
motorku di jalan yang masih basah akibat hujan malam tadi. Memburu waktu,
itulah yang kulakukan. Jarum pada spedometer menanjak dengan perlahan. Putaran
dua roda yang menopang tubuhku semakin cepat saja. Beberapa kali terdengar
tiupan peluit dari seorang polisi tegap yang berdiri di persimpangan jalan.
Mengatur ritme lalu lintas di setiap ruas jalan.
***
Waktu terbiasa berlalu dengan cepat.
Secepat anganku yang datang dan pergi begitu saja. Ketika bel sekolah berbunyi,
desahan nafas mulai terdengar jelas. Pelampiasan atas rasa puas dan penantian.
Jam pulang adalah penyelamat bagi sebagian besar siswa disini, di SMA Negeri 1
Pinrang.
“Nanti bisa tidak datang ke rumahku ?”
tanya seseorang. Dengan tiba-tiba, sorot
mata yang tajam ia menatapku. Lesung pipi itu terlihat jelas. Pikiranku buyar
oleh pesonanya. Dimulailah persoalan ketika hati dan pikiranku beradu. Antara
kata ya atau tidak. Lidahku bingung memilih hati atau pikiran.
“Untuk apa ?” kata-kata itu terlontar
saja dari bibirku. Seakan menjadi petengah antara pertempuran batin tadi.
“Kita kerja tugas Matematika, sekalian
ajarka juga Fisika,”
“Jam berapa je ?”
“Kira-kira jam berapa bisa ki ?”
“Sekitar jam 3 pi pale saja,”
“Iya, sembarang ji. Sms-ka saja
kalau mau meki berangkat !”
“Iya, nanti saya sms,”
***
Tetesan air hujan mulai turun kembali.
Iringan bunyi atap seperti sebuah simponi yang mewakili batinku. Berdenyut tak
berirama, jantung ini seolah ingin meronta. Kembali terdengar suaranya yang
lembut menghangatkan raga yang cukup menggigil. Kebahagiaan ini teraduk rata
dengan perasaan kaget. Di ruangan yang cukup luas ini, jemariny tak pernah
berhenti untuk menuliskan perintah-perintah yang kuucapkan.
“Okee… sudah selesai,” senangnya.
“Alhamdulillah…,” tambahku.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan ?”
ajakan yang sangat pantas. Ditengah kelelahan, refreshing merupakan hal yang wajib.
“Kemana ?”
“Kita jalan-jalan ke bendungan,”
“Okelah,”
Hujan reda, mentari kini mulai kembali
menatap dunia. Kutancap gas motorku. Menuju suatu tempat dimana pelangi bisa
bersinar. Bendungan Benteng, bangunan sisa zaman kolonial yang masi kokoh
berdiri selama 70 tahun lebih. Tempat itu kebetulan berjarak dekat dari tempat
tinggalnya. Banyaknya debit air yang menabrak dinding sungai membuah suara
riuh. Memainkan nada selama perjalanan kami.
Tapi hanya ada satu masalah. Lidah ini
tak bisa mengungkapkan atas apa yang telah dirasakan hati. Be fine and rilex, itu yang selalu saja terbesit dalam benakku.
Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Getaran itu lebih besar. Seirama getaran
yang ditimbulkan oleh getaran kendaraan roda dua yang kunaiki.
“Sudah sampai,” kembali membuyarkan
pikiranku yang semula melayang.
“Ohh… iya,”
Jarum jam ditangan menujukkan pukul
17.24. Terbias sinar jingga pertanda waktu senja di ufuk barat. Ragaku masih
tetap mencoba menahan perlawanan batin. Semakin kumelihatnya, semakin pula
batinku bertambah tenaga untuk berontak.
“Hey… kenapa ki ?” tanyanya melihat tingkahku.
“Ahh… tidak ji,”
“Tapi kenapa keringatan sekali ? Padahal
dingin cuaca,” tanyanya sekali lagi memojokkanku.
Aku terdiam. Sesekali ia kembali
menatap mataku penuh makna. Kemudian berpaling kembali.
“Ayo kita naik ke atas,” perintahnya
menuju suatu tempat yang nampaknya sebuah taman. Pepohonan rindang tertanam
diatas sana. Sangat cocok, namun tetap lidahku tak mampu mengucapkannya.
Hal yang tak kusangka terjadi.
Seharusnya kata-kata itulah yang seharusnya terlontar dari pita suaraku.
Seharunya bukan dia.
“Aku menyukaimu,” memacu aliran darah
ini semakin cepat. Mentari masih menatap dunia dengan sedikit malu. Bersembunyi
dibalik awan senja. Saksi akan kisah ini. Burung-burung ikut berkicau bersamaan
dengan riuh air dari balik bendungan.
“Aku juga,”
Kemudian hening, di ujung senja.
0 komentar:
Posting Komentar