Cerpen Sehari

on Sabtu, 06 April 2013

No Title...

Suara tembakan menghardik akalku dari lelap. Peluru-peluru dari senjata M4A1 buatan Amerika itu tak henti-hentinya berdering. Mengalahkan irama dari gesekan sayap jangkrik. Seperti biasa, saudaraku selalu memainkan game andalannya menyambut fajar, Counter Strike. Ia memang sangat gemar akan sesuatu hal yang bersifat menantang, termasuk memainkan aksi tembak-menembak dalam sebuah permainan komputer. Aku biasa memanggilnya adik, tapi tak pernah sama sekali ia memanggilku kakak.
Dari balik jendela kaca dalam kamar, kuterawang keluar. Langit masih tetap pada corak hitam kelabunya. Menandakan belum waktunya untuk memulai aktivitas hari ini. Semilir angin sejuk mulai membuat tubuh ini menggigil. Maka mulailah pengembaraan pikiran pagi itu. Tafakur menjadi pembukanya. Lalu diselingi berbagai fantasi atas beberapa hal yang ingin ku raih. Khayalan atas keinginan-keinginan yang belum tercapai.
Malam mulai menggulung ke barat. Tergeser oleh sinar mentari yang mulai mendorong dari arah timur. Tampak gelombang cahaya kekuningan mulai berkumpul pada ventilasi kamar. Menerobos melalui celah udara. Memberhentikan setiap langkah pengembaraan yang tadi kulakukan.
Sudah terpikir akan hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. PR, tugas, buku, dan seragam adalah beberapa hal yang berotasi dalam otakku. Bergerak cepat saat pagi bukan keahlianku. Malah masih sempatnya kunyalakan komputer jinjing milikku. Menjelajahi dunia maya dan memutar tanggal lagu favorit. Bibirku mulai mendengunkan lirik-lirik dalam lagu Complete milik Girls’ Generation, girl group terkemuka asal negeri ginseng, Korea Selatan. Alunan suara emas dari sembilan bidadari cantik itu seakan tak mau hilang dari pendengaran, sekalipun setelah membasuh tubuh dengan air. Baru kali ini aku merasa bersemangat untuk memulai hari dengan baik. Ini mungkin karena lagu tadi, namun tetap tak bisa menghentikan keleletanku pagi ini. Sudah menjadi fenomena umum kalau aku memang terkesan lambat.
“Ayo makan, Nak!” perintah ibuku setiap pagi. Namun tetap saja respon yang kuterima berjalan lambat. Perintah itu baru bisa aku lakukan setelah berselang 10 sampai 15 menit. Bukan hanya aku, saudara-saudaraku pun juga begitu. Mungkin ini adalah sifat turunan.
Jam dinding sudah menujukkan pukul 06.47 pagi, waktunya untuk berangkat ke sekolah bersama saudaraku. Segera kutancapkan gas motor cub  asal Jepang yang berlambangkan satu sayap itu. Menyusuri Jalan Lasinrang yang agak ramai. Terpantul cahaya lampu sorot motorku di jalan yang masih basah akibat hujan malam tadi. Memburu waktu, itulah yang kulakukan. Jarum pada spedometer menanjak dengan perlahan. Putaran dua roda yang menopang tubuhku semakin cepat saja. Beberapa kali terdengar tiupan peluit dari seorang polisi tegap yang berdiri di persimpangan jalan. Mengatur ritme lalu lintas di setiap ruas jalan.
***
Waktu terbiasa berlalu dengan cepat. Secepat anganku yang datang dan pergi begitu saja. Ketika bel sekolah berbunyi, desahan nafas mulai terdengar jelas. Pelampiasan atas rasa puas dan penantian. Jam pulang adalah penyelamat bagi sebagian besar siswa disini, di SMA Negeri 1 Pinrang.
“Nanti bisa tidak datang ke rumahku ?” tanya seseorang. Dengan tiba-tiba,  sorot mata yang tajam ia menatapku. Lesung pipi itu terlihat jelas. Pikiranku buyar oleh pesonanya. Dimulailah persoalan ketika hati dan pikiranku beradu. Antara kata ya atau tidak. Lidahku bingung memilih hati atau pikiran.
“Untuk apa ?” kata-kata itu terlontar saja dari bibirku. Seakan menjadi petengah antara pertempuran batin tadi.
“Kita kerja tugas Matematika, sekalian ajarka juga Fisika,”
“Jam berapa je ?”
“Kira-kira jam berapa bisa ki ?”
“Sekitar jam 3 pi pale saja,”
“Iya, sembarang ji. Sms-ka saja kalau mau meki berangkat !”
“Iya, nanti saya sms,”
***
Tetesan air hujan mulai turun kembali. Iringan bunyi atap seperti sebuah simponi yang mewakili batinku. Berdenyut tak berirama, jantung ini seolah ingin meronta. Kembali terdengar suaranya yang lembut menghangatkan raga yang cukup menggigil. Kebahagiaan ini teraduk rata dengan perasaan kaget. Di ruangan yang cukup luas ini, jemariny tak pernah berhenti untuk menuliskan perintah-perintah yang kuucapkan.
“Okee… sudah selesai,” senangnya.
“Alhamdulillah…,” tambahku.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan ?” ajakan yang sangat pantas. Ditengah kelelahan, refreshing merupakan hal yang wajib.
“Kemana ?”
“Kita jalan-jalan ke bendungan,”
“Okelah,”
Hujan reda, mentari kini mulai kembali menatap dunia. Kutancap gas motorku. Menuju suatu tempat dimana pelangi bisa bersinar. Bendungan Benteng, bangunan sisa zaman kolonial yang masi kokoh berdiri selama 70 tahun lebih. Tempat itu kebetulan berjarak dekat dari tempat tinggalnya. Banyaknya debit air yang menabrak dinding sungai membuah suara riuh. Memainkan nada selama perjalanan kami.
Tapi hanya ada satu masalah. Lidah ini tak bisa mengungkapkan atas apa yang telah dirasakan hati. Be fine and rilex, itu yang selalu saja terbesit dalam benakku. Namun, kali ini berbeda dari biasanya. Getaran itu lebih besar. Seirama getaran yang ditimbulkan oleh getaran kendaraan roda dua yang kunaiki.
“Sudah sampai,” kembali membuyarkan pikiranku yang semula melayang.
“Ohh… iya,”
Jarum jam ditangan menujukkan pukul 17.24. Terbias sinar jingga pertanda waktu senja di ufuk barat. Ragaku masih tetap mencoba menahan perlawanan batin. Semakin kumelihatnya, semakin pula batinku bertambah tenaga untuk berontak.
“Hey… kenapa ki ?” tanyanya melihat tingkahku.
“Ahh… tidak ji,”
“Tapi kenapa keringatan sekali ? Padahal dingin cuaca,” tanyanya sekali lagi memojokkanku.
Aku terdiam. Sesekali ia kembali menatap mataku penuh makna. Kemudian berpaling kembali.
“Ayo kita naik ke atas,” perintahnya menuju suatu tempat yang nampaknya sebuah taman. Pepohonan rindang tertanam diatas sana. Sangat cocok, namun tetap lidahku tak mampu mengucapkannya.
Hal yang tak kusangka terjadi. Seharusnya kata-kata itulah yang seharusnya terlontar dari pita suaraku. Seharunya bukan dia.
“Aku menyukaimu,” memacu aliran darah ini semakin cepat. Mentari masih menatap dunia dengan sedikit malu. Bersembunyi dibalik awan senja. Saksi akan kisah ini. Burung-burung ikut berkicau bersamaan dengan riuh air dari balik bendungan.
“Aku juga,”
Kemudian hening, di ujung senja.

0 komentar:

Posting Komentar